Isyarat al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan
ilmu pengetahuan hanyalah sebagai salah satu bukti kemu'jizatannya. Ajaran
al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science)
yang bersifat fisik dan empirik sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada
hal-hal fenomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia. Dalam hal ini, fungsi
dan penerapan ilmu pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan
kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda,
hakikat wujud dan kebesaran Allah serta mengaitkannya dengan tujuan akhir,
yaitu pengabdian kepada-Nya.
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah
penekanannya terhadap masalah ilmu (science). Al-Qur'an dan al-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta
menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Dalam al-Qur'an lebih dari sepuluh persen ayat-ayat al-Qur'an merupakan
rujukan-rujukan kepada fenomena alam. Termasuk masalah kepentingan mendasar
adalah menyingkap bentuk risalah yang disebut-sebut ayat-ayat keilmuan yang
didapati, bagaimana bisa memanfaatkannya. Mengenai ini ada dua
pandangan. Pertama, bahwa al-Qur'an mencakup seluruh bentuk
pengetahuan dan dengan demikian ia mencakup unsur dasar ilmu-ilmu kealaman.
Kedua, beranggapan bahwa al-Qur'an semata-mata kitab petunjuk dan di
dalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Di masa sekarang banyak orang
yang mencoba menafsirkan beberapa ayat dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern.
Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur'an dan untuk
menjadikan kaum muslimin akan keagungan dan keunikan al-Qur'an dan menjadikan
kaum muslim bangga memiliki kitab agung seperti ini.
Al-Qur'an merupakan petunjuk utama bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat. Di dalamnya terkandung dasar-dasar hukum yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia. Di samping itu, al-Qur'an juga mengandung
motivasi untuk meneliti alam dan mencintai ilmu pengetahuan. Karena itu,
sebagian isi kandungan al-Qur'an yang cukup penting adalah ilmu pengetahuan.
Memang, al-Qur'an tidak menyebutkan semua persoalan secara eksplisit. Banyak
hal dan masalah yang hanya disebut secara implisit. Aspek ilmu pengetahuan
dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara detail, melainkan secara global dan
tugas manusialah untuk menemukan spesifikasinya. Di antara
spesifikasi ilmu itu yang bisa digali dalam al-Qur'an adalah ilmu yang
berhubungan dengan media tulis menulis yang lazim disebut jurnalistik.
Ilmu pengetahuan senantiasa memperbaharui teori dan analisa seiring
perkembangan zaman dan berlansung terus menerus sesuai dengan kemajuan zaman.
Sampai saat ini ilmu pengetahuan masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap,
antara samar dan jelas, antara keliru dan mendekati kebenaran, tapi al-Qur'an
memuat prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan begitu,
al-Qur'an tidak dapat dikatakan sebagai buku ilmiah atau ensiklopedi ilmu,
tetapi ia lebih layak disebut sebagai sumber yang memberikan motivasi dan
inspirasi untuk melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai dimensinya,
termasuk di dalamnya dimensi kejurnalistikan.
Q.S.al-Alaq menegaskan bahwa proses pewahyuan terhadap Muhammad SAW
adalah starting point pengetahuan, karena bagaimanapun proses
pewahyuan dimulai dengan perintah: iqra'(bacalah!). Pembacaan
adalah sebuah proses pengajaran, sehingga setelahnya muncul dua pilar yang merupakan
bagian dari pengetahuan. Yang pertama: bahwa wujud yang berada di luar
kesadaran manusia terbentuk dari tanda-tanda yang saling berhubungan
sebagiannya dengan sebagian yang lain. Kedua: adalah kesadaran manusia terhadap
tanda-tanda ini tidak mungkin bisa sempurna kecuali dengan at-taqlim,
yaitu pembedaan sebagian dari tanda ini dengan sebagian yang lain. Alat-alat
indera adalah instrument-instrument material untuk perbedaan indekatif secara
lansung.
Melihat al-qalam dalam pengertian metaforis sebagai
alat-alat tulis terhadap abjad. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita menulis
surat dengan tinta putih pada kertas yang putih. Karena terhadap yang demikian
itu mata tidak bisa membedakannya. Akan tetapi jika misalnya menulis diwarnai
hijau pada kertas putih, ini adalah pembedaan pertama, lalu di sana ada
pembedaan yang kedua, yaitu terhadap huruf-huruf sehingga kita bisa
menyimbolkan suara nun dengan huruf nun,
suara lam dengan simbol huruf lam. Disebabkan
karena ''nun' dan ''lam'' adalah dua huruf yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Kemudian kita menyimbolkan keduanya dengan dua simbol yang
berbeda untuk membedakan perbedaan.
Disebabkan karena dasar-dasar pengetahuan manusia adalah kemampuan untuk
membedakan pembedaan (qalam), yang pada persepsi fua'adi mata
berfungsi untuk membedakan warna, dimensi bentuk yang menjadi kapasitasnya.
Sedangkan telinga berfungsi untuk membedakan suara sesuai dengan kapasitasnya
pendengaran. Demikian juga indera-indera yang lain, lalu setelah itu muncul
pikiran abstrak dan pengetahuan mengenai hubungan abstrak antara sebagian
dengan sebagian yang lain, yang pertama kali adalah melalui media bahasa lalu
selanjutnya melalui media bahasa yang sifatnya abstrak, bilangan dan symbol.
Al-Qur'an menginformasikan bahwa salah satu media untuk mengadakan
pembedaan yang sangat berperan dalam bahasa abstrak manusia adalah suara ''nun''.
Yang demikian itu terdapat dalam firmannya'' nun, demi
al-qalam dan apa yang mereka tuliskan (Q.S.al-Qalam: 1). Kita bisa
melihat di dalam bahasa Arab, bentuk umum yang merujuk kepada sesuatu yang
berakal ataupun tidak berakal adalah bentuk mim (ma)
Q.S.an-Nahl: 49,'' dan kepada Allahlah apa (ma) yang di langit dan apa (ma)
yang di bumi bersujud. Lalu digunakanlah ''nun'' guna membedakan yang
khusus untuk yang berakal yaitu dengan kata ''man'' (Q.S.AL-Ra'd:15)
''dan kepada Allahlah siapa yang (man) di langit dan siapa (man)
di bumi bersujud baik dengan tunduk atau terpaksa. Ma (huruf mim)
adalah bentuk umum (sighah 'ammah) yang telah digunakan secara historis.
Sedangkan man adalah bentuk khusus (sighah khassah)
untuk yang berakal, yang muncul setelah ma yang di dalamnya
digunakan suara nun (ma-n). demikian juga nun memainkan
peran dalam membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Yang demikian itu
adalah pada nun an-niswah (nun yang digunakan
untuk menunjukkan jamak perempuan). Antum adalah bentuk umum
untuk laki-laki dan perempuan yang muncul sejak awal. Sedangkan antunna adalah
bentuk kalimat yang khusus untuk perempuan. Artinya bahwa mim
al-jamâ'ah mendahului nun al-niswah dalam penggunaan
secara historis.
Dengan demikian bahwa suara nun dalam konteks historisnya
mempunyai peran sangat besar untuk memberikan pembedaan (al-taqlim).
Oleh sebab itulah suara nun diikuti dengan firman-Nya''
demi al-qalam''. Dengan penambahan al-taqlim (pembedaan),
maka bertambahlah suara susunan dari segala dan inilah yang dinamakan attashthir (pengkomposisian).
Oleh sebab itulah dilanjutkan dengan ''wa ma yasthurun''. Yasthurûn muncul
dari kata sathara yang dalam bahasa Arab mempunyai asal yang
mandiri, yang menunjuk kepada makna keteraturan sesuatu (classification)
atau dengan istilah Arab (al-tashnif). Artinya bahwa al-qalam adalah
membedakan sebagian dari sesuatu dengan sebagian yang lain. Inilah yang
diistilahkan dengan identification. Lalu diikuti dengan menyusun
segala sesuatu sesuai dengan tempatnya, inilah yang dinamakan at-tashthir.
Dari kata sathara juga muncul kata al-usthurah (mitos)
yaitu menyusun sebagian dari segala sesuatu yang salah dengan sebagian yang
lain, untuk menghasilkan sebuah cerita. Oleh sebab itu dinamakan usthurah. Suara nun bisa
menambahkan pembedakan beberapa hal dari sebagian yang lain, di samping juga
menambahkan pembedaan (al-taqlim) yang membawa kepada adanya al-tashnif (penyusunan).
Inilah yang dikehendaki oleh Q.S. al-qalam: 1-2).
Kelengketan al-Qur'an dengan jurnalistik Islam yang membiaskan pengaruh
yang sangat luas dan dalam, itu eksis dalam hubungan keduanya yang seakan-akan
saudara kembar atau pinang dibelah dua. Bahwa al-Qur'an adalah ''kata Tuhan''
sementara jurnalistik adalah ''tulisan tangan manusia'', menunjukkan
kelengkapan persaudaraannya. Hubungan peran keduanya dapat dipertegas bahwa
al-Qur'an datang dari Tuhan ''pencipta segala sesuatu'', sementara tulisan
manusia berperan ''mengekspresikan sesuatu''.
Pengajaran dengan al-qalam adalah suatu yang mutlak bagi
manusia dan selainnya. Dan di antara makhluk yang diajarkan secara memadai
dengan al-qalam adalah manusia. Para ahli tafsir menafsirkan
firman-Nya ''yang mengajarkan manusia dengan al-qalam'' adalah
simbolisasi mengenai pengajaran menulis, sebab alat yang digunakan untuk
menulis adalah al-qalam (pena).
Dalam memahami dan menangkap pesan jurnalistik al-Qur'an kita tidak bisa
begitu saja mencampuradukkan arti dari teks-teks yang kita baca dengan budaya,
ilmu dan ideology yang kita pegang, kita harus meninggalkan dahulu hal tersebut
untuk menggali pelbagai macam nilai, gagasan, keyakinan dan pemikiran ilmiah
serta sosial dari pesan-pesan yang tersurat dalam teks-teks itu sendiri,
walaupun toh nantinya kita temukan ketidaksesuaian gagasan tersebut dengan
keyakinan kita tersebut.
Betapa al-Qur'an dengan gamblang menjelaskan pesan yang dibawanya, yaitu
menerangkan kondisi sosial kemasyarakatan yang dihadapi dan akan selalu ditemui
oleh setiap gerakan dakwah pada waktu, tempat serta karakteristik masyarakatnya
yang berbeda-beda pula. Al-Qur'an juga tidak luput memberikan gambaran bahwa
kemampuan dan kesiapan masing-masing ummat dalam mengikis kondisi dan merespon
sesuatu yang baru banyak bergantung pada beberapa hal. Pertama, situasi dan
kondisi mental yang dihadapi oleh suatu ummat dengan adanya peristiwa-peristiwa
bersejarah yang pernah dihadapinya. Kedua, kesiapan para pemimpin umat dalam
menatap masa depan bangsanya dengan terus mengobarkan semangat kebangkitan dan
kemandirian dalam menyonsong sebuah kemajuan.